Kambang Barenteng Aset Wisata Daerah

Zulfaisal Putera
BANJARMASIN – Budayawan Banjarmasin tak menampik kisah legenda Nini (nenek, red) Randa dan Kampung Pangambangan yang ramai dibicarakan kala ini. Zulfaisal Putera misalnya, ia pun sebenarnya sudah berencana membuat sebuah artikel mengenai kepopuleran Nini Randa ini.
“Legenda ini sangat dipercaya dan turun temurun diceritakan kepada anak cucu mereka,” tandas Budayawan yang sehari-hari bekerja di Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya (Disparsenibud) Banjarmasin, Senin (10/8) kemarin.
Zulfaisal menyebut, kambang barenteng dan penjualnya merupakan aset wisata daerah Kalimantan Selatan terutama di Banjarmasin. Memang ungkap Zulfaisal, kelihatannya kecil, namun penjual kambang dan parentengan (pengrajin kambang barenteng, red) ini ikut membangun dan melestarikan kebudayaan Banjar.
Kambang Barenteng di Banjarmasin pun punya khas sendiri. Menurutnya setiap daerah memiliki kekhasan atau spesifikasi tersendiri mengenai rangkaian bunga ini. Di Martapura misalnya, tidak menggunakan daun punduhan (daun kelapa muda), namun menggunakan tali rafia dan pelepah pisang. “Di beberapa kota, ada yang pakai tangkai,” tandasnya.
Kemudian kambang barenteng punya riwayat tersendiri. Kambang barenteng di Banjarmasin memiliki legenda Nini Randa yang turun temurun didongengkan dan diceritakan kepada anak cucu warga di Pangambangan.
“Jika ada sejarah, legenda dan riwayat kemudian turun temurun tetap ada, ini adalah aset wisata daerah yang harus dipertahankan. Namun perlu dilakukan pembinaan dan penataan agar lebih rapi dan cantik,” tandasnya.
Kemudian tambah Zulfaisal, Pasar Sudimampir Ujung Murung sepertinya tidak bisa dipisahkan dengan penjual kambang barenteng. Sudah puluhan tahun bahkan turun temurun mereka berjualan di depan pasar ujung murung tersebut. Uniknya tak ada perubahan wadah berjualan.
“Mereka pakai meja sekitar satu meter, kemudian duduk pakai dedampar kayu. Pakai kerudung. Itu sudah jadi ciri khas mereka. Tidak jarang saya lihat, ada pengunjung di sana yang hanya sekadar numpang foto dengan pedagangnya,” tandasnya.
Menurut Zulfaisal, tempat berjualan kambang barenteng ini bisa dilakukan penataan agar tidak terkesan kumuh. Misalnya saja, payung penjual kambang barenteng berjualan. Jika diseragamkan semua, apalagi ada sponsor yang mendukung ini akan membuat ciri khas tersendiri Pasar Sudimampir.“Kemudian juga diusahakan agar tidak mengganggu pengguna jalan yang melintas,” tandasnya.
Diungkapkan Zulfaisal, penjual kambang barenteng di sejumlah pasar di Banjarmasin ini sepertinya benar-benar tahan banting. Sebagian penjual yang ia kenal sudah puluhan tahun menekuni profesi tersebut. Bahkan diantaranya ungkap Zulfaisal adalah nenek-nenek.
“Entahlah, apakah jualan kembang sangat menguntungkan. Atau karena mereka sudah menyanggupi untuk tetap menjual kembang sesuai amanah Nini Randa. Wallah hu alam,” tandasnya.
Ia pun tidak menampik bahwa keberadaan penjual kambang barenteng kala ini tak dianggap sebagai profesi istimewa. Bahkan karena posisi berjualannya mirip pedagang kaki lima (PKL), pihak-pihak yang berkompetenpun tak pernah berusaha memberdayakannya.
“Padahal jualan mereka selalu diperlukan. Kita belum serius berusaha memberdayakannya. Kita patut berterimakasih dengan mereka. Aroma waingnya juga menjadi penyegar ruangan di saat acara kegamaan, bahkan menjadi cendera mata yang mengejutkan. Kambang Barenteng seakan memberi maka filosofis sebagai keharuman yang tak putusnya,” tandasnya. (*)
Share on Google Plus

About Kambang Banjar

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar