Nenek Bahrah |
Nenek Sabariyah |
Warga Percaya Legenda Nini Randa
TIDAK mudah untuk menggali sejarah sebuah kampung
seperti Pengambangan. Susahnya mencari narasumber sudah pasti, karena tidak
banyak yang tau mengenai sejarah kampung pinggir sungai di Kecamatan
Banjarmasin Timur. Namun dari berbagai sumber, penulis menemukan kisah menarik.
Percaya atau tidak, berikut ceritanya!
RAHMAT
HIDAYATULLAH, Banjarmasin
SETIDAKNYA ada empat tokoh perentengan (penjual dan pengrajin kambang, red) di Kampung
Pangambangan yang ditemui penulis. Mereka bisa dikatakan “master” soal kembang
mengembang di kampung ini. Usianya sudah lebih dari 70 tahun. Alhamdulillah,
masih sehat, segar dan bugar. Sampai saat ini mereka masih berprofesi sebagai penjual kambang barenteng
di sejumlah pasar, seperti Pasar Sudimampir Ujung Murung, Pasar Lima dan lainnya.
Sebelum menemui empat tokoh tersebut, penulis pun
berusaha menanyai sejumlah pemuda di Pangambangan. Mereka tak tahu menahu soal
sejarah kampung kelahiran mereka. Memang, dari sekian banyak warga
Pangambangan, hanya beberapa warga yang mengetahui asal muasal kampung
Pangambangan dan hubungannya dengan Kambang Berenteng. Ada yang tau sepintas,
karena pernah dikisahkan datu ataupun nenek. Ada yang tidak tau sama sekali.
Ke empat tokoh yang ditemui Radar Banjarmasin
merupakan tetuha di Pengambangan. Mereka adalah Bahrah (74), Biyah (80),
Fatimah (56) dan Sabariyah (77). Mereka pun menceritakan kisah yang sampai saat
ini terus menjadi legenda. Yakni kisah Nini (Nenek, red) Randa dan putri
cantik.
Kendati masih belum mengetahui kebenaran pastinya,
warga Pengambangan percaya dengan adanya Nini Randa. Ia adalah putri kerajaan
yang konon kabarnya diusir dari kerajaan kemudian tinggal di hutan belantara.
Di dalam hutan itu tumbuh bunga-bungaan segar. Di sanalah Nini Randa tinggal
dan merawat kebun bunganya. Konon, lokasinya di Pulau Kadap Jalan Pangeran
Hidayatullah Kelurahan Pengambangan Kecamatan Banjarmasin Timur.
Nini Randa pun tinggal sendirian di sana. Tentu saja
ia pun perlu mata pencaharian. Bunga yang ada dikebun dipetiknya, kemudian
dirangkai untuk dijualnya kepada masyarakat. Lokasi jual belinya ada di kawasan
Masjid Raya Sabilal Muhtadin.
“Jadi dari Pengambangan ke Sabilal naik jukung.
Kambang Barenteng laku, karena hanya Nini Randa yang saat itu menjualnya,” ujar
Sabariyah.
Kambang Barenteng biasanya digunakan untuk berbagai
upacara. Sampai saat ini pun masih digunakan warga untuk acara keagamaan
misalnya ziarah kubur, maulid nabi, mandi-mandi dan lainnya.
Konon Nini Randa mendapatkan seorang putri. Kisahnya, Nini Randa mencari ikan di
guntung. Namun selalu saja mendapatkan siput (sebagian ada yang mengatakan
Gondang). Siput itu kemudian dibawa ke rumah. Suatu hari, ketika Nini Randa
pulang ke rumah, tiba-tiba saja makanan sudah tersaji lengkap. Beberapa kali
itu terjadi. Nenek Randa pun kemudian menantang orang yang menyajikan makananya
tadi. Konon ternyata yang menyajikan makanan itu adalah si Siput tadi yang
cantik rupanya.
Putri
tadi kemudian dirawat Nenek Randa di rumah. Ia pun belajar merenteng kembang.
Hasil rentengan putri ternyata luar biasa. Rangkaian kembangnya cantik. Nini Randa
pun membawa kambang barenteng itu untuk dijual.
Tiba-tiba
ada pangeran yang tertarik membelinya, bahkan ingin mengetahui siapa gerangan
yang merangkai kambang barenteng tersebut. “Pangeran
tadi kemudian membuntuti Nini Randa sampai ke lampau di Pangambangan. Ternyata
bertemu dengan putri yang merenteng tadi,” ujarnya.
Pangeran kemudian membawa putri tadi ke kerajaan
bersama juga dengan Nini Randa. Pengrajin Kambang Barenteng pun makin banyak.
Warga mulai menggeluti profesi Nini Randa. Hingga sekarang, penjual kambang
barenteng itu diyakini adalah para keturunan Nini Randa tetap melestarikan
kebudayaan ini.
“Saya sering ditanya di pasar, ini kambangnya Nini
Randa kah? Saya bilang iya betul, kami keturunan Nini Randa,” ucap Sabariyah.
Sekarang
di area Pulau Kadap sudah didirikan sebuah bangunan usaha milik swasta. Padahal
dulunya, warga Pengambangan banyak ziarah ke kawasan ini. Konon dikabarkan, Nini Randa
dikuburkan di sana. Namun sampai saat ini, cerita ini masih belum bisa
dibuktikan kebenarannya.
Diungkapkan ibu Sembilan anak itu, warga di
Pengambangan cukup familiar dengan legenda Nini Randa ini. Namun mereka tidak
banyak mengetahui panjang kisah Nini Randa yang biasanya didongengkan nenek
moyangnya sewaktu kecil. Warga yang tau, kebanyakan adalah tetuha kampung yang
sudah menggeluti Kambang Barenteng puluhan tahun.
“Kalau yang masih muda, banyak yang tidak mengetahui
legenda ini. Kalau yang tua-tua pasti tau kisahnya,” ujarnya.
Generasi penerus parentengan saat ini pun mulai
memudar. Pengrajin kambang barenteng saat ini bisa dikatakan sudah berumur.
Walaupun ada beberapa anak perempuan yang ikut ibunya merangkai kambang di
rumah. Namun tidak banyak.
“Saya punya anak sembilan. Tapi yang jadi penerus
hanya dua, jadi bertiga dengan saya di rumah merenteng dan bejual kembang,”
tandasnya. (*)
0 komentar:
Posting Komentar